Kaligrafi Islam mempunyai kedudukan yang istimewa diantara cabang-cabang seni Islam yang lain. Tidak seperti cabang seni Islam yang
lain – musik, arsitektur misalnya, yang dalam beberapa hal banyak
dipengaruhi oleh gaya-gaya lokal dan sejumah seniman non muslim –
kaligrafi mencapai puncak keindahannya di tangan-tangan piawai seniman
muslim sepenuhnya, tanpa campur tangan pihak lain. Tanpa Islam
barangkali huruf Arab tidak akan berarti apa-apa. Hal ini dapat dilihat
dari perhatian umat Islam terhadap tulisan yang berawal dari perhatian
mereka terhadap al-Qur’an. Wahyu Allah yang turun melalui Nabi Muhammad
adalah kalimat suci yang merupakan bahasa Tuhan kepada hamba-Nya.
Pertalian langsung antara tulisan dengan nilai-nilai keagamaan yang
sakral menjadikan umat Islam selalu termotivasi untuk terus
mengembangkannya. Pandangan ini kemudian dipertegas lagi dengan
kenyataan bahwa bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa liturgis umat
Islam. Tulisan Arab menjadi terangkat fungsi dan statusnya, bukan
sekedar sebagai alat komunikasi antar manusia, tetapi juga merupakan
tulisan religius yang sakral.
Kehadiran
Islam dengan berbagai atribut yang dibawanya, telah membawa perubahan
besar dan cepat pada perkembangan tradisi Arab. Betapa tidak, ketika
orang-orang Arab tengah asyik-masyuk dengan tradisi verbal yang mereka
banggakan, wahyu pertama (al-‘Alaq:1-5) yang berisi perintah Tuhan agar
membaca, menelaah, menganalisis justru menghentakkan mereka dari tidur
panjangnya seolah menjadi “bom” yang menghempaskan idealisme bangsa
Arab, sekaligus “proklamasi” kemestian budaya tulis-menulis dalam
risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw (baca: Islam). Wahyu pertama itu
segera disusul dengan pengertian lain seperti ‘Tuhanmu yang mengajari manusia dengan pena’. Kemudian dalam surat al-Qalam (Pena) (Q.S: 68: 1) Allah berfirman ; ‘Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis’.
Di samping itu, pengertian-pengertian simbolis pentingnya tulisan juga
terdapat dalam banyak ayat, misalnya al-Qur’an yang tertulis dalam
Lauhul Mahfudz (Q.S. 85:21-22), dua malaikat yang mencatat perbuatan
manusia (Q.S. 82: 10, 50: 16), pemberian buku catatan perbuatan manusia
pada hari akhir kelak (Q.S. 17:73, 10:62, 34:4 dan sebagainya),
perumpamaan seluruh pohon di bumi dijadikan pena tidak akan cukup
menulis kekuasaan Allah (Q.S.31: 27), dan perumpamaan air laut sebagai
tinta yang tidak akan cukup untuk menuliskan kekuasaan Allah meskipun
ditambah lagi dengan tujuh kali air laut yang ada di bumi (Q.S. 31:27,
18: 109). Semua ayat diatas merupakan penghargaan yang sangat tinggi
terhadap pena, tinta, buku, dan tulisan. Dari sini dapat dipahami bahwa
kaligrafi atau tulis-menulis memperoleh asal-usul yang langsung dari
Allah lewat firman-firman-Nya. Dalam sejarah perkembangan kaligrafi,
nilai-nilai dalam al-Qur’an ini menjadi ruh, spirit bagi para kaligrafer
untuk terus mencipta dan berkarya.
Penghargaan
yang demikian tinggi terhadap tulisan juga terdapat dalam beberapa
Hadist Nabi. Kata Qalam (pena) misalnya disinggung dalam sebuah hadist
tentang nasib manusia yang telah tertulis dan tidak dapat diubah, qad jaffa al-qalam (pena telah kering). Hadist lain mengatakan ‘Ajarilah anakmu membaca dan menulis’,
serta penjelasan hadist nabi yang merupakan penghargaan terhadap
tulisan indah, ‘bahwa siapa yang menulis Bismillahirrahmaniirahim dan
memperindahnya, dia akan masuk surga’. Dalam sejarah Islam juga
diperoleh keterangan bahwa Nabi mengerahkan para tawanan perang- yang
notabene non muslim- untuk mengajari membaca dan menulis anak-anak Madinah.
Kecintaan kepada tulis-menulis seperti dicontohkan Nabi akhirnya
menjadi tauladan bagi para sahabatnya termasuk Abu Bakar, Umar, Usman,
dan Ali. Budaya tulis-menulis dalam Islam telah memulai sejarahnya dan
terbangun kuat sejak masa-masa awal Islam ini.
Memandang kaligrafi dari perspektif agama, hal ini juga didukung oleh citra bahwa
kaligrafi dalam Islam dipandang sebagai manifestasi semangat
religiusitas. Ini bermula dari pernyataan-pernyataan Allah sendiri dalam
al-Qur’an dan beberapa Hadist seperti yang dikemukakan di atas.
Kualitas religius yang suci ini akhirnya menjadi ciri yang sangat
tipikal dalam apresiasi kaligrafi sepanjang peradaban Islam. Melihat
betapa dekatnya dunia seni dengan dunia agama dalam visi Islam dan peran
besar kaum sufi – yang turut meniupkan ruh keilahian dalam seni Islam –
kaligrafi mencapai puncak keindahannya. Hal ini dikarenakan ia
tersembul dari spiritualitas (rohani) yang seimbang, serasi, dan
harmonis. Keindahannya bukan muncul dari imajinasi tak terarah atau
selera egois senimannya. Dalam kaligrafi Islam tidak ada kesan rebelli
(memberontak), yang ada hanya bebas tetapi harmonis, tenteram. Dan
keindahannya, keelastisannya adalah peta batin sang kaligrafer yang
telah dinafasi oleh ruh religiusitas tertentu.
Sumber: https://hilyatulqalam.wordpress.com/category/artikel-kaligrafi/
No comments:
Post a Comment